BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara
makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup
lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi
dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama
makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar
hidup bagi makhluk hidup. Jika dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya
interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energy bagi
kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan
pergerakan (Sastrawidjaya,
1991).
Sumber energy primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari.
Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan hijau
dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul
anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy. Molekul tersebut
selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber
bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki
kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen (Sudaryanti,
2004).
Produktivitas adalah laju penambatan atau penyimpanan energy
oleh suatu komunitas dalam ekosistem. Produktivitas dari suatu ekosistem adalah
kecepatan cahaya matahari yang diikat oleh vegetasi menjadi produktivitas kotor
sesuai dengan kecepatan fotosintesis. Sedangkan produktivitas bersih dari
vegetasi adalah produksi dalam arti dapat dipergunakan oleh organisme lain,
yaitu sesuai dengan kecepatan fotosintesis dikurangi kecepatan respirasi
(Djumara, 2007).
Jika produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit
dalam jangka waktu yang lama makan hal itu menandakan kondisi lingkungan yang
stabil, tetapi jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi
perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam
interaksi di antara organisme penyusun ekosistem. Terjadinya perbedaan
produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya
factor pembatas dalam setiap ekosistem. Factor yang paling penting dalam
pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim
dalam lingkungannya (Campbell, 2002).
Berdasarkan
uraian di atas, maka perlu diakukan penyusunan makalah terkait dengan
Produktivitas Primer untuk mengetahui lebih jelas mengenai Metode
pengukuran produktivitas primer, Cara Mengukur, faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas primer.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini
sebagai berikut:
- Apakah yang dimaksud produktivitas primer?
- Bagaimana metode
pengukuran produktivitas primer?
- Bagaimana cara mengukur produktivitas primer?
- Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas primer?
C. Tujuan Penulisan
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini
sebagai berikut:
- Untuk mengetahui pengertian produktivitas primer.
- Untuk mengetahui metode
pengukuran produktivitas primer.
- Untuk mengetahui cara mengukur produktivitas
primer.
- Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas primer.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah
ini sebagai berikut :
- Meningkatkan pengetahuan pembaca mengenai
“Produktivitas Primer”
- Sebagai bahan masukan dan pembanding bagi penulis
selanjutnya dengan makalah yang relevan.
- Sebagai latihan bagi penulis dalam menyusun
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Produktivitas Primer
Produktivitas primer adalah laju pembentukan
senyawa-senyawa organic yang kaya energy dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah
seluruh bahan organic (biomassa) yang terbentuk dalam proses produktivitas
dinamakan produktivitas primer kotor atau produksi kotor.
Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam
proses produksivitas dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total.
Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan
proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang
digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan
untuk respirasi. Produksi primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan
trofik lain (Amstrong,
1994).
Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya
dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau
volume air laut per interval waktu. Jadi, produksi dapat dilaporkan sebagai
jumlah gram karbon per m2 per hari (gC/m2/hari), atau satuan-satuan lain yang
lebih tepat. Hasil tetap (Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah
jumlah biomassa tumbuhan yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada
suatu saat tertentu. Di laut khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan
organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan.
Produktivitas jumlah karbon yang terdapat di dalam matenal hidup dan secara
umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter
kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang
dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari). Selain jumlah karbon
yang dihasilkan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui
dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi
klorofil-a. dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Wardoyo, 1978).
Di lingkungan perairan Indonesia Produksi bagi ekosistem
merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan
energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi
energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan
adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi
makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen. Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu.
produktivitas
primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity,
GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organic pada
tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena
organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar
organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net
primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi
energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP – Rs
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer
menunjukkan simpanan energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian
besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90%
dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP
terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur
nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar
yang besar dan secara metabolik aktif. Produktivitas primer dapat dinyatakan
dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa
(berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan
per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu
ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof
fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa
tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju
di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan
memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya
mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput
yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).
B. Metode Pengukuran
Produktivitas Primer
Berikut ini adalah beberapa metode pengukuran
produktivitas primer suatu perairan, antara lain:
1. Metode Panen
Cara ini di tentukan berdasarkan berat pertumbuhan
dari tumbuhan. Dapat dinyatakan secara langsung berat keringnya atau kalori
yang terkandung, tetapi keduanya dinyatakan dalam luas dan priode waktu
tertentu. Metode ini mengukur produksi komunitas bersih. Metode penuaian ini sangat cocok dan baik pada
ekosistem daratan, dan biasanya untuk vegetasi yang sederhana.
2. Metode Pengukuran Oksigen
Oksigen merupakan hasil sampingan dari fotosintesis,
sehingga ada hubungan erat antara produktifvitas dengan oksigan yang dihasilkan
oleh tumbuhan. Tetapi harus diingat sebagian oksigen dimanfaatkan oleh tumbuhan
tersebut dalam proses respirasi, dan harus diperhitungkan dalam penentuan
produktivitas. Metode ini sangat cocok dalam menentukan produktivitas primer
ekosistem perairan, dengan fitoplankton sebagai produsennya.
3. Metode Karbon dioksida
Karbondioksida yang di pakai dalam fotosintesis oleh
tumbuhan dapat dipergunakan sebagai indikasi untuk produktivitas primer. Dalam
hal ini seperti juga pada metode penentuan oksigen proses respirasi harus
diperhitungkan. Metode ini cocok untuk tumbuhan darat dan dapat dipakai pada
suatu organ daun, seluruh bagian tumbuhan dan bahkan satu komunitas tumbuhan. Ada dua teknik atau metode utama yaitu : metode ruang tutup dan ruang
aerodinamika.
4. Metode pH
Metode ini digunakan pada ekosistem perairan. Pada ekosistem perairan pH
air merupakan fungsi dari kadar karbon dioksida terlarut. Metode ini baik
dilakukan di laboratorium karena mudah dikontrol.
5. Pengukuran berkurangnya bahan mentah
Berkurangnya kandungan bahan-bahan mentah yang tersedia menggambarkan
tinggak produktivitas. Metode ini baik dilakukan pada ekosistem perairan.
Metode ini mengukur produksi bersih komunitas.
6. Metode Radioaktivitas
Materi aktif yang dapat diidentifikasi radiasinya
dimasukkan dalam sistem. Misalnya karbon aktif (C14) dapat
diintroduksi melalui suplai karbondioksida yang nantinya diasimilasikan oleh
tumbuhan dan dipantau untuk mendapatkan perkiraan produktivitas. Teknik ini sangat mahal dan
memerlukan peralatan yang canggih, tetapi memiliki kelebihan dari metode
lainya, yaitu dapat dipakai dalam berbagai tipe ekosistem tanpa melakukan
penghancuran terhadap ekosistem.
7. Metode Klorofil
Produktivitas berhubungan erat dengan jumlah klorofil
yang ada. Rasio asimilasi untuk tumbuhan atau ekosistem adalah laju dari
produktivitas pergram klorofil. Konsentrasi klorofil dapat ditentukan
berdasarkan cara yang sederhana, yaitu dengan cara mengekstraksi pigmen
tumbuhan (Campbell, 2002).
C. Cara Mengukur Produktivitas Primer
Prosedur pengukuran produktivitas primer dapat
dilakukan secara kuantitas dan kualitas, kuantitas dapat diukur dengan
menggunakan metode klorofil-a dan kepadatan plankton. Sedangkan kualitas dapat
diketahui dengan menentukan index diversitas (ID). Adapun metode pengukuran
klorofil-a adalah sebagai berikut :
Prinsip analisis:
- Fitoplankton (debris tumbuhan) dipekatkan melalui
filtrasi dengan membran filter
- Pigmen yang terkandung diekstraksi dengan aceton,
dan konsentrasi klorofil-a diukur dengan spektrofotometri
a.
Prosedur Analisis Klorofil-a :
- Menyiapkan kertas filter
- Menuangkan MgCO3 pada filter
kemudian divacum untuk menghisap cairan 100 ml air yang mengandung sample
divacum
- Kertas filter dilipat dan ditambahkan 5 ml
aceton 95% kemudian digerus dengan alat teflon pestle
- Menambahkan lagi aceton sebnyak 3,5 ml
kemudian digerus
- Hasil gerusan masukkan kedalam tabung reaksi,
tutup dengan aluminium foil dan dibiarkan semalam
- Sentrifuse tabung reaksi pada 2000 – 3000 rpm,
selama 10 menit
- Memindahkan ke kuvet supernatannya, sentrifuse
lagi pada 300 – 500 rpm selama 5 menit
- Mengukur absorsi pada panjang gelombang 665 nm
dan 750 nm (sebelumnya spektrofotometer diset pada absoransi 0,000 dengan
aceton 95%)
- Hitung dengan rumus :
Konsentrasi Chlorofil a (Mg/l) =
11,9 (A665 – A750) x V/L x 1000/S
Dimana:
A665 = Absorbansi pada panjang gelombang 665
A750 = Absorbansi pada panjang gelombang 750
V = Ekstraksi aceton yang diperoleh
L = Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam kuvet
(cm)
S = Volume sampel yang difiltrasi
b. Perhitungan Kepadatan Plankton
Menurut Sutarman.
(1993), prosedur perhitungan kepadatan plankton sebagai
berikut :
1. Dibersihkan obyek glass dan cover glass dengan
aquadest dan dikeringkan dengan tissue
2. Diteteskan sampel pada obyek glass
3. Ditutup dengan cover glass, jangan sampai ada
gelembung
4. Diamati di bawah mikroskop
5. Diamati bidang plankton pada bidang 1:5
6. Dihitung jumlah plankton
7. Dihitung total kepadatan plankton (sel/liter atau
ind/liter) dengan persamaan modifikasi Lackey Drop :
N = ((T.V) /
(L.v.p.W)) x n
Dimana
:
T
: Luas cover glass (mm2)
V :
Volume konsentrat plankton dalam botol plankton
L
: Luas lapang pandang dalam mikroskop (mm2)
v
: Volume konsentrat plankton di bawah cover glass
p
: Jumlah lapang pandang
W :
Volume air sample yang disaring
N :
Jumlah plankton dalam sel/liter atau ind/liter
n
: Jumlaah plankton dalam bidang pandang
Prosedur perhitungan
produktivitas primer secara kualitas yaitu dengan menggunakan Index Diversitas
(index keragaman), yang dihitung dengan menggunakan rumus indeks diversity
Shannon & Wiener (H’) sebagai berikut
Dimana,
H’ = index diversitas
Pi = proporsi spesies ke-I
terhadap jumlah total
ni = jumlah sel/ekor dari taksa
biota i
N = jumlah sel/ekor dari taksa
biota di dalam sampel
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Primer
Menurut Campbell (2002), terjadinya perbedaan
produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya
faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam pembatasan
produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim dalam
lingkungan.
Produktivitas pada ekosistem dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain:
- Suhu atau Temperatur
Dalam
setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan mutlak
dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air serta
semua aktifitas biologis fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat
dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan
temperatur sebesar 10 oC (hanya pada kisaran yang masih dapat ditolerir) akan
meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar
2-3 kali lipat. Pola temperatur suatu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh
vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi.
Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka
produktivitas akan meningkat dari wilayah kutub ke ekuator. Namun pada hutan
hujan tropis, suhu bukanlah menjadi faktor dominan yang menentukan
produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh. Adanya suhu yang tinggi dan konstan
hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuhan akan
berlangsung lama, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.
Suhu secara langsung ataupun tidak langsung
berpengaruh pada produktivitas. Secara langsung suhu berperan dalam mengontrol
reaksi enzimatik dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu dapat
meningkatkan laju maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak langsung,
misalnya suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang
akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton.
Menurut Soetjipta, bahwa temperatur yang masih
dapat ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara 20-30, dan
temperatur yang sesuai dengan fitoplankton berkisar antara 25-30oC, sedangkan
temperatur yang optimal untuk pertumbuhan dari zooplankton berkisar antara
15-35oC.
2. Cahaya
Cahaya
merupakan sumber energy primer bagi ekosistem. Cahaya memiliki peran yang
sangat vital dalam produktivitas primer, oleh karena hanya dengan energy cahaya
tumbuhan dan fitoplankton dapat menggerakkan mesin fotosintesis dalam tubuhnya.
Hal ini berarti bahwa wilayah yang menerima lebih banyak dan lebih lama
penyinaran cahaya matahari tahunan akan memiliki kesempatan berfotosintesis
yang lebih panjang sehingga mendukung peningkatan produktivitas primer.
Pada
ekosistem terrestrial seperti hutan hujan tropis memilik produktivitas primer
yang paling tinggi karena wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak
sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan iklim
sedang. Sedangkan pada eksosistem perairan, laju pertumbuhan fitoplankton
sangat tergantung pada ketersediaan cahaya dalam perairan. Laju pertumbuhan
maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan jika perairan berada pada
kondisi ketersediaan cahaya yang rendah.
3. Intensitas Cahaya Matahari
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan
mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan
diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air.
Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan
mengalami perubahan yang signifikan baik secara kulitatif maupun kuantitatif.
Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat yang mengalami pembiasan
yang menyebabkan kolom air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari
permukaan.
Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi
hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi
dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi
oleh intensitas cahaya matahari , juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan
benda yang lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin
yang terlarut dalam air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran air juga dapat
mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh-tumbuhan
tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari
4. Air, curah hujan dan
kelembaban
Produktivitas pada ekosistem terrestrial
berkorelasi dengan ketersediaan air. Air merupakan bahan dasar dalam proses
fotosintesis, sehingga ketersediaan air merupakan faktor pembatas terhadap
aktivitas fotosintetik. Secara kimiwi air berperan sebagai pelarut
universal, keberadaan air memungkinkan membawa serta nutrient yang dibutuhkan
oleh tumbuhan. Air memiliki siklus dalam ekosistem. Keberadaan air dalam
ekosistem dalam bentuk air tanah, air sungai/perairan, dan air di atmosfer
dalam bentuk uap. Uap di atmosfer dapat mengalami kondensasi lalu jatuh sebagai
air hujan. Interaksi antara suhu dan air hujan yang banyak yang berlangsung
sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat ideal tumbuhan
terutama pada hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas.
Tingginya kelembaban pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat
dipengaruhi proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat yang
menyebabkan lepasnya unsure hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Terjadinya
petir dan badai selama hujan menyebabkan banyaknya nitrogen yang terfiksasi di
udara, dan turun ke bumi bersama air hujan. Namun demikian, air yang jatuh sebagai
hujan akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi vegetasi rentan
mengalami pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah. Pencucian adalah
penyebab utama hilangnya zat hara dalam ekosistem.
5. Nutrien
Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrient
anorganik, beberapa dalam jumlah yang relatif besar dan yang lainnya dalam
jumlah sedikit, akan tetapi semuanya penting. Pada beberapa ekosistem
terrestrial, nutrient organic merupakan faktor pembatas yang penting bagi
produktivitas. Produktivitas dapat menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient
spesifik atau nutrient tunggal tidak lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi.
Nutrient spesifik yang demikian disebut nutrient pembatas (limiting
nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan fosfor merupakan
nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan bahwa CO2
kadang-kadang membatasi produktivitas.
Produktivitas di laut umumnya terdapat paling besar
diperairan dangkal dekat benua dan disepanjang terumbu karang, di mana cahaya
dan nutrient melimpah. Produktivitas primer persatuan luas laut terbuka
relative rendah karena nutrient anorganic khusunya nitrogen dan fosfor terbatas
ketersediaannya dipermukaan. Di tempat yang dalam di mana nutrient melimpah,
namun cahaya tidak mencukupi untuk fotosintesis. Sehingga fitoplankton, berada
pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik ke atas membawa nitrogen
dan fosfor kepermukaan.
6. Tanah
Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada
tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara
kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar
(respirasi tanah). Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2)
dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat
(H2CO3 ) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi
bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+).
Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation
hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation
yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah
melalui profil tanah. Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas
biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena
aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan
tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di
daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat
ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui
aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga
dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah.
7. Herbivora
Sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat
dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe
ekosistem darat. Namun demikian, akibat yang ditimbulkan oleh herbivore pada
produktivitas primer sangat sedikit sekali diketahui. Bahkan hubunga antar
herbivore dan produktivitas primer bersih kemungkinan bersifat kompleks, di
mana konsumsi sering menstimulasi produktivitas tumbuhan sehingga meningkat
mencapai tingkat tertentu yang kemudian dapat menurun jika intensitasnya
optimum. walaupun defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering
sekali terjadi, hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah
hutan hujan tropis. Selain itu, banyak pohon mengembangkan alat pelindung
terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi
oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.
8. DO (Dissolved
Oxygen).
Disolved oxygen (DO) merupakan
banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan
suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali
dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebahagian besar organisme air.
Kelarutan oksigen sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan
maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu yaitu sebesar 14,16 mg/l O2.
Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya suhu air. Dengan
peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan
sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen
terlarut semakin tinggi.
Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah
penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara,
dan dari proses fotosintesis. Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologi
organisme air terutama adalah dalam proses respirasi. Nilai oksigen terlarut di
suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain
dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktifitas
fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. nilai DO yang berkisar
antara 5,45-7,00 mg/l cukup baik bagi proses kehidupan biota perairan. Nilai
oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l.
9. BOD (Biochemical
Oxygen Demand)
Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand)
menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam
proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada suhu 200 C Dari hasil
penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang
terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme
membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari
dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil
penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah
senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70% maka pengukuran
yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5).
Nilai konsentrasi BOD menunjukan suatu kualitas
perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi oksigen selama 5
hari berkisar sampai 5 mg/l oksigen maka perairan tersebut tergolong baik dan
apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10 mg/l -20 mg/l oksigen akan
menunjukkan tingakat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan untuk air
limbah BOD umumnya lebih dari 100 mg/l. Pengukuran BOD didasarkan pada
kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terdapat
substansi yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya
yang terdapat dalam limbah rumah tangga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
- Produktivitas primer merupakan laju penambatan
energi yang dilakukan oleh produsen. Produktivitas primer dibedakan
atas produktivitas primer kasar (bruto) yang merupakan hasil asimilasi
total, dan produktivitas primer bersih (neto) yang merupakan penyimpanan
energi di dalam jaringan tubuh tumbuhan.
- Prosedur pengukuran produktivitas primer dapat
dilakukan secara kuantitas dan kualitas.
- Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
yaitu suhu atau temperature, cahaya, intensitas cahaya matahari, Air,
curah hujan dan kelembaban, nutrient, tanah, herbivora, DO (Dissolved
Oxygen), dan BOD (Biochemical Oxygen Demand).
- Produktivitas primer perairan didefinisikan
sebagai kemampuan organisme produsen dalam badan air untuk menghasilkan
bahan organik dari bahan anorganik.
- Sumber energy pokok dalam ekosistem adalah
pengubahan radiasi energy matahari menjadi energy kimia oleh produsen.
- Produktivitas primer bersih ekosistem dapat
dijabarkan sebagai berikut:
NPP = GPP – Rs
Di mana NPP adalah net primary productivity, GPP
adalah gorss primary productivity, dan Rs adalah laju Respirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Michael. 1994. Seri Pedoman Manajemen, Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Gramedia.
Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi
(terjemahan), Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Djumara, 2007. Modul 3 : Sumber
Daya Alam Lingkungan Terbarukan dan Tidak Terbarukan Diklat Teknis
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah. Jakarta: Environmental Assesment
and Management.
Sastrawidjaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudaryanti. 2004. Produktivitas
Perairan (Primer). Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya.
Sutarman. 1993. Petunjuk Praktek Pembenihan Ikan
Air Tawar Skala Rumah Tangga. Yogyakarta: Kanisius.
Wardoyo. 1978. Pengelolaan Kualitas Air Bagian
Akuakultur. Bogor:
Fakultas Perikanan IPB.
sangat membantu. terima kasih :D
BalasHapus